Komunikasi Pemerintah: Ketika Semua Bicara, Tapi Tak Ada yang Didengar

Oleh: Ani Natalia – Founder Govcom Insight & Consulting

Bayangkan jalan tanpa lampu merah.

Mobil melaju seenaknya. Klakson bersahutan. Emosi memuncak.
Saya pernah terjebak di persimpangan seperti itu di luar negeri tanpa marka, tanpa aturan. Rasanya bukan hanya stres, tapi juga seperti mempertaruhkan nyawa setiap detik. Dan dari kekacauan itu, satu hal jadi jelas: tanpa aturan, semua orang kalah.

Begitu juga dengan komunikasi publik pemerintah

Di era digital yang begitu gaduh ini, di mana satu kabar bisa viral dalam hitungan detik, komunikasi tidak lagi cukup hanya sekadar “menyampaikan informasi.” Kita butuh lebih. Kita butuh arah. Kita butuh rambu.

Sayangnya, rambu ini sering diabaikan.
Komunikasi publik seharusnya seperti sistem lalu lintas. Ada jalurnya. Ada penandanya. Setiap pesan dari pemerintah baik pusat maupun daerah harus mengalir dalam satu irama.
Karena kalau tidak, dampaknya bukan cuma kebingungan, tapi juga hilangnya kepercayaan.

Kenapa rambu itu penting?

Karena komunikasi bukan cuma soal bicara. Ia membentuk persepsi. Menumbuhkan kepercayaan. Dan menjadi jembatan antara kebijakan dan kehidupan nyata masyarakat.
Tanpa koordinasi, pesan dari pemerintah bisa saling bertabrakan. Publik bingung, media jadi liar, dan yang muncul adalah distorsi.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Manuel Castells dalam bukunya Communication Power (2009), kekuasaan hari ini tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memegang informasi, tapi siapa yang mampu mengendalikannya.

Contoh paling nyata? Pemindahan Ibu Kota Negara
Saya masih ingat bagaimana awalnya isu IKN memicu rasa penasaran. Tapi seiring waktu, narasi yang muncul justru membingungkan. Ada yang bilang pembangunan sudah dimulai, tapi di sisi lain, pejabat lain menyebut baru tahap perencanaan. Target ASN pindah berubah-ubah. Dana asing masuk? Tidak jelas siapa dan bagaimana.

Dan karena komunikasi tidak terpadu, publik mengisi celah informasi itu dengan asumsi. Lahirlah hoaks. Muncullah ketidakpercayaan.
Padahal, kalau saja sejak awal ada satu narasi besar yang dijaga, disepakati, dan disampaikan bersama bisa jadi suasananya jauh lebih positif. Bahkan kritik pun bisa muncul dengan lebih sehat karena didasarkan pada informasi yang utuh.

Lalu, apa saja rambu yang seharusnya dijaga humas pemerintah?
1.⁠ ⁠Satu Narasi, Banyak Suara. Koordinasi antarlembaga mutlak. Jangan sampai pesan tentang isu besar keluar dalam versi-versi yang saling bertolak belakang.
2.⁠ ⁠Transparansi dan Kejujuran. Seperti kata Prof. Anholt dalam konsep “nation branding”, kepercayaan lahir dari kejujuran, bukan dari pencitraan. Akui kesalahan. Jelaskan perubahan. Itu bukan kelemahan, justru kekuatan.
3.⁠ ⁠Empati sebagai Marka Jalan. Rasakan keresahan masyarakat. Pakai bahasa yang bisa dipahami siapa saja. Komunikasi yang baik bukan yang canggih, tapi yang sampai.
4.⁠ ⁠Kesiapsiagaan Seperti Polisi Lalu Lintas. Saat krisis, humas harus menjadi penenang, bukan malah menyulut keraguan.
5.⁠ ⁠Monitoring dan Evaluasi Seperti CCTV Jalan. Evaluasi rutin penting. Jangan sampai kita mengulang blunder yang sama karena tak pernah menengok ke belakang.

Lalu, bagaimana membangun komunikasi publik yang solid?
Anggap saja seperti membangun jalan tol.
Butuh fondasi. Butuh perencanaan. Dan tentu saja, butuh SDM yang mumpuni. Pelatihan komunikasi, SOP krisis, serta teknologi digital yang mendukung adalah bagian dari infrastruktur komunikasi ini.

Buat buku panduan internal. Bangun forum komunikasi lintas instansi. Latih empati, bukan hanya keahlian teknis.

Karena jalan yang ramai, tak harus macet.
Selama ada rambu, ada penjaga arus, dan ada kedewasaan dalam berkomunikasi, maka komunikasi publik bisa menjadi kekuatan besar. Bukan hanya alat penyampai pesan, tapi juga perekat antara negara dan rakyatnya.

Dan humas pemerintah, punya peran utama sebagai pengatur lalu lintas itu.
Sudahkah kita pegang peluitnya dengan bijak? (AN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *